TUJUAN PEMIDANAAN DALAM ISLAM
Oleh: Ocktoberrinsyah
Abstrak
Salah satu hal yang membedakan hukum pidana Islam dan hukum pidana sekuler adalah adanya dimensi-dimensi ukhrawi dalam berbagai konsepnya. Dalam konsep tujuan pemidanaan misalnya, penjatuhan hukuman tidak hanya bertujuan sebagai pembalasan, perbaikan, pencegahan, dan restorasi, tetapi juga meliputi sebagai penebusan dosa. Tujuan pemidaan dalam Islam juga memperhatikan aspek-aspek keadilan dan kemaslahatan bagi korban dan pelaku kejahatan, sehingga kepentingan masing-masing pihak tidak dapat dinafikan begitu saja.
A.
Pendahuluan
Dari
segi konsepnya, hukuman yang terdapat dalam hukum pidana Islam itu mempunyai
karakter yang sedikit berbeda dengan konsep hukuman dalam hukum sekuler. Di
antara perbedaan tersebut adalah bahwa konsep hukuman dalam hukum pidana Islam
tentunya berasaskan pada syari`at dan merupakan bagian dari akidah Islam yang
harus diyakini oleh setiap muslim akan keberadaannya.
Sebagai
sebuah konsep yang berlandaskan pada ajaran agama, maka semua ketentuan yang
berkaitan dengan hukuman, baik sebagai norma hukum maupun sebagai asasnya,
didasarkan pada nas-nas Alquran ataupun hadis.
Oleh karena itu, seharusnya hukuman ini dapat menjadi motivasi besar bagi
setiap muslim untuk tidak melakukan tindak pidana, bukan saja karena ketakutan
akan hukuman itu sendiri, akan tetapi
juga ketakutan akan melanggar perintah agama dan azab di akhirat kelak.
Sebagai
bagian dari akidah Islam, maka hukuman-hukuman tersebut juga harus didekati
melalui prinsip-prinsip Islam yang di antaranya adalah bahwa agama Islam
merupakan agama yang mendatangkan rahmat bagi seluruh manusia (rahmatan li
al-ālamīn), baik itu muslim maupun non-muslim.
Dengan
demikian, dapat dipahami bahwa konsep hukuman yang ditawarkan dalam Islam
haruslah mendatangkan maslahah bagi setiap manusia tanpa memandang suku, ras,
bangsa, dan agama. Hal ini salah satu buktinya dapat dilihat dari tujuan
pemidanaan yang telah digariskan dalam hukum pidana Islam.
B.
Sejumlah Teori
Pemidanaan
Para pakar dengan berbagai latar belakang disiplin
keilmuan mempunyai pandangan yang berbeda-beda tentang konsep dan tujuan hukuman. Perbedaan
ini berakar pada cara pandang mereka terhadap faktor-faktor penyebab terjadinya
kejahatan.[1]
Humanitarian menganggap seorang penjahat sebagai seorang yang sedang sakit yang
memerlukan penanganan khusus seperti halnya pasien yang sedang menderita
penyakit fisik ataupun mental. Orang-orang yang terlibat dalam kejahatan
dianggap sebagai orang-orang yang abnormal dan merupakan korban dari sejumlah
masalah internal ataupun eksternal. Semua faktor ini memainkan peranan penting.
Para pelaku kejahatan seharusnya ditangani seperti seorang pasien yang sakit
dan diupayakan kesembuhannya ketimbang dianggap sebagai penjahat lalu dijatuhi
hukuman dan dibunuh. Penanganan terhadap pasien dalam istilah medis sering
disebut curative-rehabilitative treatment. Lebih lanjut, pandangan ini
berasumsi bahwa seseorang melakukan kesalahan atau kejahatan lebih karena
pengaruh lingkungan sekitar dan bukan karena ia bermaksud melakukan kejahatan.
Menghukum seorang penjahat tak ubahnya seperti memberikan racun kepada orang
yang sedang sakit. Oleh karena itu, golongan humanis merekomendasikan
penanganan reformatif dan rehabilitatif ketimbang memasukkan mereka ke dalam
penjara atau mengirim mereka ke tiang gantungan. Menurut mereka, semakin maju
suatu masyarakat, semakin berkurang kejahatan yang dilakukan sebagai dampak
dari faktor negatif masyarakat.[2]
Di sisi lain, ada teori yang mengatakan bahwa maksud jahat dari seorang pelaku tindak
pidana membuat ia harus bertanggung jawab atas segala perbuatannya. Teori ini
mempercayai bahwa seorang penjahat melakukan kejahatan karena keadaan kondusif
yang mendorong penjahat berpotensi untuk melakukan tindak pidana. Keadaan kondusif
ini tentunya sedikit mengurangi tanggung jawab pidana pelaku kejahatan, dan
memang secara hukum dapat dijadikan pembelaan bagi pelaku kejahatan. Namun
demikian, tidak pula dapat dipungkiri bahwa bagaimanapun mereka orang-orang
yang telah bertindak sembrono, gegabah, penuh dendam, dan dengan persiapan
terlebih dahulu. Mereka melakukan kejahatan dan
sadar akan konsekuensi setiap tindakannya yang salah.[3]
Pertanyaannya adalah apakah mereka pantas mendapatkan
perlindungan hukum agar mereka selamat dari penerapan aturan-aturan hukum?
Pertanyaan lebih lanjut adalah apakah individu atau masyarakat atau
kedua-keduanya siap untuk membebaskan pelaku kejahatan dari sanksi pidana
dengan semata-mata alasan bahwa para penjahat itu adalah orang-orang yang
sedang sakit yang memerlukan penanganan medis sebagai pengganti hukuman yang
telah ditetapkan oleh norma humum yang ada? Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa teori yang merekomendasikan curative-rehabilitative treatment sepenuhnya berorientasi pada perlindungan atas
kepentingan pelaku kejahatan ketimbang berorientasi pada kepentingan publik dan
masyarakat. Teori ini juga tidak menghiraukan dampak yang dilakukan pelaku
kejahatan sebagai orang yang bertindak salah terhadap korban atau masyarakat.
Padahal merupakan suatu prinsip hukum bahwa orang yang bersalah harus diberikan
sanksi hukum. Orang yang bersalah harus diberikan sejumlah hukuman, baik secara
fisik maupun psikis. Hukuman harus
diberikan agar pelaku kejahatan menyadari apa yang telah ia perbuat sesuatu
yang dilarang, sehingga ia akan menghindari dirinya untuk melakukan perbuatan
yang sama di kemudian hari.[4]
Penyimpangan terhadap norma-norma hukum ini dianggap
sebagai suatu keburukan dan hukuman. Tujuan pemidanaan itu sendiri tidak dapat
digantungkan dengan satu alasan semata, karena sesungguhnya ada berbagai tujuan
pemidanaan. Seiring dengan kemajuan peradaban dan masyarakat, maka ada sejumlah
teori pemidanaan, antara lain deterrent theory, preventive theory,
retributive theory, reformative theory, dan expiatory theory.
Adanya variasi teori ini menimbulkan pandangan yang berbeda-beda mengenai
sejumlah kejahatan dan cara penanganan pelakunya.[5]
Dari sejumlah teori di atas, dapat dikatakan bahwa
teori-teori tersebut hampir mengabaikan unsur penting peran “pertimbangan
mendalam” dan “kebebasan bertindak” pada sisi pelaku kejahatan. Teori-teori ini
banyak memberikan perhatiannya pada karakter-karakter bawaan manusia dan peran
masyarakat sebagai penyebab munculnya kejahatan. Aliran biologis menyatakan
bahwa seseorang melakukan kejahatan karena tabiat buruk yang melekat dalam
pikirannya. Di sisi lain, aliran sosiologis memandang individu sebagai “unmanned
boat which is at the mercy of the flow of the waves”. [6]
C.
Islam dan Teori
Pemidanaan
Berbeda dengan teori-teori sekuler di atas yang
berangkat dari hasil pemikiran dan penelitian manusia, teori Islam tentang
pemidanaan merupakan suatu kepercayaan yang berasal dari petunjuk Tuhan yang
ada dalam Alquran. Islam menggariskan bahwa manusia diberi kebebasan untuk
bertindak dan pada dasarnya jiwa manusia itu sendiri suci. Manusia itu sendirilah yang kemudian
menentukan jalan yang ia pilih.[7]
Kebersihan jiwa itu dipengaruhi oleh tingkat religiusitas (iman) seseorang dan
juga faktor lingkungan sekitarnya.
Lemahnya iman merupakan
penyebab utama terjadinya kejahatan. Syariat Islam mengajarkan bahwa kekafiran
merupakan sumber segala kejahatan.[8]
Menurut Islam, perbuatan setanlah yang membuat manusia menjauh dari iman dangan
cara menebarkan keraguan dan melemahkan manusia dengan kemiskinan mereka. Oleh karena itu, Allah mengingatkan dengan
sangat kepada hamba-Nya untuk menjauhi perbuatan dan tipu daya setan.[9]
Berdasarkan kajian yang mendalam terhadap
nas-nas agama, para ahli hukum pidana Islam merumuskan sejumlah tujuan[10]
pemidanaan, yaitu:
- Pembalasan (al-Jazā’)
Konsep ini secara umum memberikan
arti bahwa pelaku tindak pidana perlu dikenakan pembalasan yang setimpal dengan
apa yang dilakukannya tanpa melihat apakah
hukuman itu berfaedah untuk dirinya atau masyarakat. Hal ini sesuai
sekali dengan konsep keadilan yang menghendaki seseorang itu mendapat
pembalasan yang setimpal dengan apa yang telah dilakukannya. [11]
Sehubungan dengan konsep ini, Allah swt. berfirman:
وجزاء سيئة سيئة
مثلها فمن عفا وأصلح فأجره على الله إنه لا يحب الظالمين[12]
Istilah pembalasan ini banyak
digunakan oleh Alquran dalam tindak pidana hudud. Di antara ayat-ayat yang
menunjukkan tujuan pemidanaan ini:
والسارق
والسارقة فاقطعوا أيديهما جزاء بما كسبا نكالا من الله والله عزيز حكيم[13]
إنما
جزاء الذين يحاربون الله ورسوله ويسعون في الأرض فسادا أن يقتلوا أو يصلبوا أو
تقطع أيديهم وأرجلهم من خلاف أو ينفوا من الأرض ذلك لهم خزي في الدنيا ولهم في
الآخرة عذاب عظيم[14]
Di samping pernyatan-pernyataan dalam
Alquran sendiri, tujuan pembalasan ini juga banyak mempengaruhi ijtihad-ijtihad
fukaha. Di antaranya adalah pandangan mazhab Syafi’iah yang mewajibkan
pelaksanaan semua hukuman bagi seorang pelaku tindak pidana yang melakukan
banyak tindak pidana (tidak mengenal teori gabungan pidana).
Dari satu aspek yang lain pula, tujuan pembalasan ini juga dapat
dilihat pada hukuman-hukuman yang tidak
boleh dimaafkan. Dalam kasus Fatimah al-Makhzumiyah yang telah melakukan
pencurian, Rasulullah telah mengkritik sejumlah sahabat karena berusaha supaya
perempuan al-Makhzumiyah tersebut diampuni. Rasulullah juga telah menegaskan bahwa dalam kasus
seperti itu tidak ada pengampunan sama sekali.
Meskipun teori pembalasan ini banyak
dikritik oleh ahli hukum sekuler,[15]
terutama jika dikaitkan dengan konsep balas dendam, namun dalam syari`at Islam,
tujuan seperti ini memang jelas dan mempunyai sandaran yang cukup dari Alquran, sunnah, dan pandangan Fukaha. Walau bagaimanapun, memang harus
diakui bahwa tujuan ini tidak dapat
dijadikan sandaran bagi semua jenis hukuman yang ada dalam hukum pidana Islam.
Di samping tujuan ini, terdapat lagi tujuan-tujuan lain yang menjadi sandaran
bagi hukuman-hukuman yang lain pula. Akan tetapi, menafikannya pun bukanlah
sesuatu yang bijak. Bahkan,
menurut sebagian ulama, ia menduduki posisi yang sangat penting. Hukuman yang
diberikan harus menggapai keadilan bagi korban. Kelegaan hati korban, ahli
waris korban, dan orang-orang yang berinteraksi dengan korban benar-benar
dijamin oleh tujuan retributif . Tujuan ini dapat pula meredam semangat
balas dendam yang berpotensi menimbulkan tindak pidana yang lain.[16]
2.
Pencegahan (az-Zajr)
Pencegahan atau deterrence ini
dimaksudkan untuk mencegah sesuatu tindak pidana agar tidak terulang lagi.[17]
Dalam Alquran sendiri terdapat
beberapa ayat yang secara jelas memberikan isyarat kepada konsep seperti ini. Antara
lain firman Allah swt.:
وما
نريهم من آية إلا هي أكبر من أختها وأخذناهم بالعذاب لعلهم يرجعون[18]
أولا
يرون أنهم يفتنون في كل عام مرة أو مرتين ثم لا يتوبون ولا هم يذكرون[19]
Secara ringkas, ayat-ayat di atas memberikan
arti bahwa tindakan yang dilakukan oleh Allah swt. terhadap manusia di dunia ini tujuannya
bukan untuk semata-mata menyiksa, tetapi
sebenarnya untuk memperingatkan mereka supaya menghindarkan diri dari kesesatan
dan perlakuan buruk. Malahan, dalam ayat kedua di atas Allah swt. mencela orang yang tidak mengambil pelajaran
dari peringatan-peringatan seperti itu.[20]
Pencegahan yang menjadi tujuan
dari hukuman-hukuman ini dapat dilihat
dari dua aspek, yaitu pencegahan umum
dan pencegahan khusus. Pencegahan umum ditujukan kepada masyarakat secara
keseluruhan, dengan harapan mereka tidak melakukan tindak pidana karena takut
akan hukuman. Sementara, pencegahan khusus
bertujuan pula untuk mencegah pelaku tindak pidana itu sendiri dari
mengulangi perbuatannya yang salah itu. Tujuan pencegahan ini sebenarnya
mendapatkan perhatian yang besar di kalangan
fukaha dalam memberikan justifikasi terhadap hukuman-hukuman yang
ditetapkan. Dalam menguraikan konsep hudud, al-Mawardi, misalnya menyebutkan
bahwa ia merupakan hukuman-hukuman yang
bertujuan untuk mencegah dari perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan
syara`. Tujuannya ialah supaya segala larangan-Nya dipatuhi dan segala
suruhan-Nya diikuti. [21]
Pandangan
yang sama juga diberikan oleh al-Kamāl
bin al-Humām.[22]
Beliau mengatakan bahwa hukuman itu ialah apabila dilaksanakan atas setiap orang maka akan mencegahnya dari mengulangi kembali tindak pidana tersebut. Apabila hukuman itu dilaksanakan secara terbuka, maka pencegahan
umum akan lebih efektif pula. Berkaitan dengan pelaksanaan hukuman secara
terbuka ini, Allah swt. berfirman:
الزانية
والزاني فاجلدوا كل واحد منهما مئة جلدة ولا تأخذكم بهما رأفة في دين الله إن كنتم
تؤمنون بالله واليوم الآخر وليشهد عذابهما طائفة من المؤمنين[23]
Berasaskan pada nas di atas, ada
ulama yang berpendapat bahwa apapun
jenis hukumannya, maka ia boleh dilaksanakan secara terbuka. Malahan ada pula yang mengatakan bahwa setiap hukuman
hudud mesti dilaksanakan secara terbuka dengan tujuan untuk mencegah orang
banyak dari melakukan apa yang dilarang oleh Allah. Di antara langkah
berikutnya yang mendorong tujuan pencegahan ini dalam hukum pidana Islam ialah
pengguguran kelayakan pelaku tindak pidana untuk menjadi saksi di hadapan
pengadilan, sebagaimana yang ditetapkan dalam ayat tentang qażaf: [24]
والذين
يرمون المحصنات ثم لم يأتوا بأربعة شهداء فاجلدوهم ثمانين جلدة ولا تقبلوا لهم
شهادة أبدا وأولئك هم الفاسقون إلا الذين تابوا من بعد ذلك وأصلحوا فإن الله غفور
رحيم[25]
Menurut sebagian fukaha, ayat di atas
meskipun hanya membicarakan tentang pelaku tindak pidana qazaf semata-mata,
namun fukaha’ meluaskan penggunaanya
hingga meliputi semua kasus hudud dengan keyakinan bahwa langkah seperti itu
dapat mencegah orang banyak dari
melakukan tindak pidana. Walau bagaimanapun terdapat juga fukaha yang tidak
mau mengaitkan konsep ini dengan hukuman-hukuman yang ada dalam hukum pidana
Islam. Mereka mengatakan, sekiranya ada fukaha menyatakan bahwa hudud itu
bertujuan untuk mencegah, maka kita mengatakan tidak seperti apa yang mereka
katakan itu. Apa yang Allah jadikan pencegahan ialah “pengharaman“ dan janji azab di akhirat
saja. Sementara hudud, Allah menciptakannya sebagaimana yang Dia kehendaki.
Allah juga tidak memberitahu kepada kita bahwa itu tujuannya adalah mencegah,
sebagaimana yang mereka katakan.
Walau bagaimanapun, pandangan terakhir di atas
itu hanya sesuai dengan asas Mazhab Zahiri yang
hanya berpegangan pada pengertian zahir nas saja. Adapun jika ditinjau
dengan lebih mendalam, tujuan pencegahan ini jelas tidak dapat disanggah sama
sekali. Sekurang-kurangnya tidak ada nas yang menyebut bahwa tujuan hukuman
yang terkandung dalam hukum pidana Islam bukan untuk pencegahan. Di samping
itu, ada pula golongan yang berpendapat bahwa tujuan di balik hukuman yang
ditetapkan oleh syariat Islam itu tidak boleh dipahami dengan logika akal.[26]
- Pemulihan/Perbaikan (al-Iṣlāḥ)[27]
Satu lagi tujuan asas bagi hukuman
dalam hukum pidana Islam ialah
memulihkan pelaku tindak pidana dari keinginan untuk melakukan tindak pidana.
Malahan pada pandangan sebagian fukaha, tujuan inilah yang merupakan tujuan
paling asas dalam sistem pemidanaan Islam. Tujuan pemidanaan ini dapat dilihat
dalam firman Allah:
والسارق
والسارقة فاقطعوا أيديهما جزاء بما كسبا نكالا من الله والله عزيز حكيم. فمن تاب من بعد ظلمه و اصلح فان الله
يتوب عليه ان الله غفور رحيم[28]
Fakta yang menunjukkan bahwa pemulihan ini merupakan satu dari pada
tujuan asas dalam sistim hukum pidana Islam ialah pandangan-pandangan fukaha
tentang tujuan hukuman pengasingan atau
penjara. Menurut mereka, tujuan hukuman
pengasingan atau penjara itu adalah untuk memulihkan pelaku tindak pidana
tersebut. Berasaskan tujuan inilah mereka berpendapat bahwa hukuman seperti itu
akan terus dilanjutkan hingga pelaku tindak pidana benar-benar bertaubat.[29]
Fakta lain tentang tujuan pemulihan
ini ialah pandangan-pandangan Madzab Maliki dan Mazhab Zahiri tentang hukuman
atas perampok. Dalam Alquran dijelaskan bahwa terdapat empat jenis hukuman bagi
perampok, yaitu dibunuh, disalib, dipotong tangan dan kaki, dan diasingkan.
Dalam menafsirkan ayat ini, mereka berpendapat bahwa hukuman tersebut tidak perlu
dilaksanakan satu persatu mengikuti susunan yang ada dalam ayat tersebut,
sebaliknya dalam pandangan mereka, hukuman-hukuman tersebut merupakan
alternatif–alternatif yang dapat dipilih oleh hakim, sesuai dengan kepentingan
pelaku tindak pidana itu sendiri dan juga masyarakat.
Tujuan pemulihan ini yang paling
jelas adalah dalam hukuman takzir. Tujuan takzir itu sendiri adalah untuk mendidik dan
memulihkan pelaku tindak pidana. Oleh karena itu, meskipun penjara seumur hidup dibolehkan,
namun ia harus diberhentikan apabila pelaku tersebut telah diyakini mempunyai
sikap dalam diri untuk tidak lagi melakukan
tindak pidana.[30]
Namun demikian, tujuan ini terkadang
tampak kurang efektif bagi pelaku tindak pidana yang sudah profesional atau
yang sudah terbiasa melakukannya (residivis misalnya). Orang-orang seperti ini
akan susah menangkap nilai-nilai pemulihan[31]
sehingga upaya perbaikan terhadap perilaku mereka seperti menggantang asap.
- Restorasi (al-Isti`ādah)[32]
Kathleen Daly[33]
dalam sebuah artikelnya menyatakan bahwa keadilan restoratif (restorative
justice) dapat diartikan sebagai sebuah metode untuk merespons tindak
pidana dengan melibatkan pihak-pihak yang bertikai dalam rangka memperbaiki
kerusakan yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut. Hal ini dilakukan dengan dialog dan negosiasi
antara kedua belah pihak.[34]
Jika dalam
tujuan pemulihan (reformasi) lebih berorientasi kepada pelaku tindak pidana (offender
oriented), maka dalam tujuan restorasi ini lebih berorientasi kepada korban
(victim oriented). Tujuan ini lebih untuk mengembalikan suasana seperti
semula, merekonsiliasi korban (individu
atau masyarakat) dan pelaku tindak pidana, dan mendorong pelaku untuk memikul
tanggung jawab sebagai sebuah langkah memperbaiki kesalahan yang disebabkan
oleh tindak kejahatannya.[35]
Dalam Islam, tujuan ini dapat
disimpulkan dari ayat-ayat yang menegaskan adanya hukuman diat sebagai hukuman
pengganti dari hukuman kisas apabila korban memaafkan pelaku tindak pidana.
يا
أيها الذين آمنوا كتب عليكم القصاص في القتلى الحر بالحر والعبد بالعبد والأنثى
بالأنثى فمن عفي له من أخيه شيء فاتباع بالمعروف وأداء إليه بإحسان ذلك تخفيف من
ربكم ورحمة فمن اعتدى بعد ذلك فله عذاب أليم[36]
Pemberian maaf dari korban yang
kemudian diikuti oleh pemberian diat oleh pelaku tindak pidana merupakan salah
satu bentuk rekonsiliasi yang dapat
mengikis rasa dendam kedua belah pihak dan mewujudkan kembali kedamaian
yang telah terusik di antara kedua belah pihak.
- Penebusan Dosa (at-Takfīr)
Salah satu hal yang membedakan hukum
pidana Islam dan hukum pidana sekuler adalah adanya dimensi-dimensi ukhrawi
dalam hukum pidana Islam. Ketika manusia melakukan kejahatan, ia tidak hanya
dibebankan pertanggungjawaban/ hukuman di dunia saja (al-`uqūbāt
ad-dunyawiyyah), tetapi juga pertangungjawaban/hukuman di akhirat (al-`uqūbāt
al-ukhrawiyyah).[37] Penjatuhan hukuman di dunia ini menurut
sebagian fukaha, salah satu fungsinya adalah untuk menggugurkan dosa-dosa yang
telah dilakukannya.
Dalam
hukum pidana sekuler, karena hanya berdimensi duniawi maka tujuan ini dialihkan menjadi penghapusan
rasa bersalah. Jadi tujuan ini lebih ditekankan pada aspek psikologis ketimbang
aspek religius. Oleh karena itu, dalam hukum pidana sekuler dikenal konsep guilt
plus punishment is innocence. Konsep ini tampaknya juga sudah diadopsi
dalam RUU KUHP Indonesia di mana tujuan pemidanaan yang terakhir adalah
penghapusan rasa bersalah, yaitu penghapusan rasa bersalah yang muncul setelah pelaku melakukan kejahatan.
Persoalannya adalah rasa bersalah ini
terkadang tidak muncul dalam diri pelaku
kejahatan, bahkan seringkali penjahat merasa benar ketika ia melakukan
kejahatan, sehingga tidak perlu merasa bersalah. Tidak tampak sedikitpun rasa
penyesalan dalam dirinya. Padahal, adanya penyesalan ini merupakan syarat
mutlak dalam Islam untuk penghapusan dosa-dosanya. Penyesalan dan upaya untuk
memperbaiki diri yang berlumur dosa itulah yang dikenal dalam Islam sebagai
taubat.[38]
Oleh karena itu, konsep hukuman sebagai penghapus dosa yang lebih tepat menurut
hukum pidana Islam adalah apabila diikuti dengan unsur taubat di dalamnya. Pengampunan
terhadap dosa-dosa horizontal dan
vertikal baru terjadi apabila muncul rasa menyesal dalam lubuk hati pelaku
tindak pidana dan adanya niat yang kuat untuk tidak mengulangi perbuatan jahat
yang telah ia lakukan.
Penambahan unsur taubat dalam konsep
di atas berangkat dari pemikiran terhadap tindak pidana riddah. Jika
seorang murtad dijatuhi hukuman penjara atau bahkan hukuman mati, sedangkan dia
tetap pada keyakinannya untuk menyekutukan Allah, maka seharusnya dengan
hukuman tersebut terhapuslah dosa-dosanya. Padahal Allah dengan tegas
menyatakan bahwa Dia akan mengampuni segala dosa-dosa hamba-Nya, kecuali dosa
menyekutukan-Nya.
إنّ
اللّه لا يغفر أن يشرك به ويغفر ما دون ذلك لمن يشاء[39]
Sebaliknya, pertaubatan semata dalam
hukum pidana Islam tidak otomatis menghapus hukuman,[40]
meskipun itu dilakukan sebelum ia tertangkap.
Memang dalam sejumlah kasus, seperti ḥirābah, dinyatakan bahwa
kalau mereka bertaubat sebelum ditangkap, maka mereka dapat diampuni oleh
Allah.
إلّا
الّذين تابوا من قبل أن تقدروا عليهم فاعلموا أنّ اللّه غفور رحيم[41]
Meskipun demikian, pengampunan
tersebut hanyalah yang berkaitan dengan pelanggaran terhadap hak-hak Allah
(bersifat vertikal), sedangkan hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak individu
tidaklah gugur dengan sendirinya. Perampok yang telah bertaubat tersebut harus
mengembalikan apa yang telah diambilnya sebagai bukti bahwa ia telah bertaubat.
Kalau dalam perampokan itu ia juga telah melakukan pembunuhan, maka ia akan
tetap dihukum kisas.[42]
|
D.
Kesimpulan
Tujuan pemidanaan dalam Islam tidak hanya berorientasi pada
kemaslahatan pelaku kejahatan (offender oriented), tetapi juga
berorientasi pada kemaslahatan korban kejahatan (victim oriented), termasuk
di sini adalah kepentingan masyararakat sebagai sebuah sistem yang terganggu
oleh suatu kejahatan. Ciri khusus dari tujuan pemidanaan dalam Islam adalah
sifatnya yang berdimensi ganda, duniawi dan ukhrawi.
E.
Daftar Pustaka
`Abd al-Ḥamīd
Ibrāhīm al-Majālī, Masqaṭāṭ al-`Uqūbah at-Ta`zīriyyah, Riyāḍ: Dār an-Nasyr,
1412 H/1992 M.
`Abd ar-Raḥīm Ṣidqī, al-Jarīmah wa
al-`Uqūbah fī asy-Syarī`ah al-Islāmiyyah: Dirāsah Taḥlīliyyah li Aḥkām al-Qiṣāṣ
wa al-Ḥudūd wa at-Ta`zīr, Kairo: Maktabah an-Nahḍah al-Miṣriyyah, 1408
H/1987 M.
`Umar Muḥyī
ad-Dīn Ḥawarī, al-Jarīmah Asbābuhā-Mukāfaḥatuhā: Dirāsah Muqāranah fī
asy-Syarī`ah wa al-Qānūn wa `Ulūm al-‘Ijtimā`iyyah, Damaskus: Dār al-Fikr,
2003/1424.
Antony Duff,
”Legal Punishment”, dalam http://plato.stanford.edu/ entries/legal-punishment/ , akses tanggal 7
Januari 2009.
Awdah, ‘Abd al-Qādir, at-Tasyrī`
al-Jinā’ī al-Islāmī: Muqāranan bi al-Qānūn al-Wad`ī, Beirut: Dâr
al-Kâtib al-`Arabî, t.t., 2 Juz.
Bambang Purnomo, Asas-asas Hukum Pidana, t.tp.: Ghalia Indonesia,
1981.
Kathleen Daly,
“Restorative Justice in Diverse and Unequal Societies”, dalam Law in
Context: A Socio-legal Journal, Vol. 17, No. 1, Tahun 2000.
Mahmood Zuhdi
Ab. Majid, Bidang Kuasa Jenayah Mahkamah Syari`ah di Malaysia, Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2001.
Mohammad
Shabbir, Outlines of Criminal Law and Justice in Islam, Selangor Darul
Ihsan: International Law Book Services, 2002.
Muḥammad Abū
Zahrah, al-Jarīmah wa al-`Uqūbah fī al-Fiqh al-Islāmī: al-Jarīmah, Kairo:
Dār al-Fikr al-`Arabī, 1998.
Muḥammad Ismā`īl Abū ar-Raysy, al-Kaffārāt fī
al-Fiqh al-Islāmī, Mesir: Dār al-Amānah, 1408 H/1989 M.
Paizah Haji Ismail, Undang-undang Jenayah Islam, Selangor
Darul Ehsan: Dewan Pustaka Islam, 1996.
Zainal Abidin,
”Pemidanaan, Pidana, dan Tindakan dalam Rancangan KUHP”, dalam Elsam,
2005.
[1]Disiplin keilmuan yang mempelajari tentang sebab-sebab kejahatan
sebagai gejala fisik ataupun psikis dan menentukan reaksi-reaksi terhadap
kejahatan tersebut, lazimnya disebut sebagai kriminologi. Bambang Purnomo, Asas-asas Hukum
Pidana (t.tp.: Ghalia Indonesia, 1981), hlm. 35.
[2]Mohammad Shabbir, Outlines of Criminal Law and Justice in Islam (Selangor
Darul Ihsan: International Law Book Services, 2002), hlm. 19-20.
[3]Ibid.
[7]Lihat misalnya Asy-Syams (91): 7-10
[8]Lihat misalnya An-Nisā` (4): 76; Al-Baqarah (2): 268; Al-Mā’idah
(5): 91; An-Nūr (24): 21.
[9]`Umar Muḥyī ad-Dīn Ḥawarī, al-Jarīmah Asbābuhā-Mukāfaḥatuhā:
Dirāsah Muqāranah fī asy-Syarī`ah wa al-Qānūn wa `Ulūm al-‘Ijtimā`iyyah
(Damaskus: Dār al-Fikr, 2003/1424), hlm. 141-2. Selanjutnya diungkapkan
sejumlah indikasi lemahnya iman seseorang, antara lain: keras hati dan tidak
sopan, bermalas-malasan menjalankan ketaatan dan ibadah, hilangnya keyakinan
dalam beribadah, sempit dada, tidak responsif terhadap ayat-ayat Alquran, lalai
kepada Allah, mencintai sesuatu yang bersifat lahiriah, hilangnya empati, tidak sesuai antara ucapan dan
perbuatan, memandang rendah kebajikan, dan lain-lain. Ibid., hlm. 145-6.
[10]Ada beberapa istilah yang digunakan dalam literatur hukum pidana
untuk menunjukkan tujuan pemidanaan ini, seperti teori pemidanaan dan filsafat
pemidanaan.
[11]Mahmood Zuhdi Ab. Majid, Bidang Kuasa Jenayah Mahkamah Syari`ah
di Malaysia (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2001), hlm. 40-9.
[12]Asy-Syura (42): 40.
[13]Al-Maidah (5): 38.
[14]Al-Maidah (5): 33.
[15]Dalam
konsep Rancangan KUHP, tujuan retributif
ini tampaknya sudah ditinggalkan. Pada Bab III tentang Pemidanaan,
Pidana, dan Tindakan disebutkan bahwa pemidanaan bertujuan:
a.
Mencegah
dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman
masyarakat.
b.
Memasyarakatkan
terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan
berguna.
c.
Menyelesaikan
konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan
mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.
d. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
[16]Shabbir, Outlines of Criminal, hlm. 34.
[17]Ab. Majid, Bidang Kuasa, hlm. 43.
[18]Az-Zukhruf (43): 48
[19]At-Taubah (9): 126.
[20]Ab. Majid, Bidang Kuasa, hlm. 44.
[21]Ibid.
[22]Sebagaimana dikutip oleh Ab. Majid dalam Ibid.
[23]An-Nur (24): 2.
[24]Ab. Majid, Bidang Kuasa, hlm. 46.
[25]An-Nur (24): 4 dan 5.
[27]Terkadang digunakan istilah rehabilitation.
[28]Al-Maidah (5): 38-9.
[29]Ab. Majid, Bidang Kuasa, hlm. 48-9.
[30]Ibid.
[31] Shabbir, Outlines of Criminal, hlm. 31.
[32] Kajian tentang tujuan pemidanaan ini dalam hukum pidana antara lain
dapat dilihat dalam Antony Duff, ”Legal
Punishment”, dalam http://plato.stanford.edu/ entries/legal-punishment/ , akses tanggal 7
Januari 2009.
[33]Kathleen Daly adalah profesor kriminologi dan keadilan pidana, universitas Griffith (Brisbane). Dia menulis tentang gender, ras, kejahatan dan keadilan, dan juga restoratif, adat, dan keadilan internasional. Bukunya yang berjudul Gender,
Crime, and Punishment (1994) menerima penghargaan Michael Hindelang dari American Society of Criminology. Dari tahun 1998 sampai 2006, ia menerima tiga besar Australian Research Council (ARC) hibah untuk mengarahkan program penelitian tentang keadilan restoratif, dan ras dan politik gender dari praktik "keadilan baru" di Australia, Selandia Baru, dan Kanada. Selain sejumlah buku dan koleksi yang diedit, dia telah
menerbitkan lebih
dari 60 artikel dalam jurnal, dan review hukum. Dia adalah Presiden dari The Australian and New Zealand Society
of Criminology (ANZSOC), dan anggota dari The Academy of the Social Sciences di
Australia. Lihat http://www.restorativejusticenow.org/content/view/24/49/, akses tanggal 18 Desember 2010.
[34]Kathleen Daly, “Restorative Justice in Diverse and Unequal
Societies”, dalam Law in Context: A Socio-legal Journal, Vol. 17, No. 1,
Tahun 2000, hlm. 167-8.
[35]Lihat lebih lanjut Position Paper Advokasi RUU KUHP Seri #3, Zainal Abidin, ”Pemidanaan, Pidana, dan
Tindakan dalam Rancangan KUHP”, dalam Elsam, 2005.
[37]Muḥammad Abū Zahrah, al-Jarīmah wa al-`Uqūbah fī al-Fiqh
al-Islāmī: al-Jarīmah (Kairo: Dār al-Fikr al-`Arabī, 1998), hlm. 20; `Abd
ar-Raḥīm Ṣidqī, al-Jarīmah wa al-`Uqūbah fī asy-Syarī`ah al-Islāmiyyah:
Dirāsah Taḥlīliyyah li Aḥkām al-Qiṣāṣ wa al-Ḥudūd wa at-Ta`zīr (Kairo:
Maktabah an-Nahḍah al-Miṣriyyah, 1408 H/1987 M), hlm. 105.
[38]Taubat dapat diartikan sebagai penyesalan atas dosa-dosa yang telah
lalu yang diikuti niat dan tekad yang kuat untuk meninggalkan sifat-sifat
tercela menuju sifat-sifat terpuji. `Abd al-Ḥamīd Ibrāhīm al-Majālī, Masqaṭāṭ
al-`Uqūbah at-Ta`zīriyyah (Riyāḍ: Dār an-Nasyr, 1412 H/1992 M), hlm. 105.
[40]Perdebatan posisi taubat sebagai penghapus hukuman diperselisihkan
oleh fukaha. Sebagian fukaha berpendapat bahwa taubat itu dapat menggugurkan
hukuman, namun sebagian yang lain menyatakan bahwa taubat hanya menggugurkan
hukuman yang berkaitan dengan hak-hak Allah saja.Lihat ‘Abd al-Qādir `Awdah, at-Tasyrī` al-Jinā’ī al-Islāmī: Muqāranan bi al-Qānūn al-Wad`ī (Beirut: Dâr al-Kâtib al-`Arabî, t.t.), I: 353.
[42]Paizah Haji Ismail, Undang-undang
Jenayah Islam (Selangor Darul Ehsan: Dewan Pustaka Islam, 1996), hlm. 236.
[43]Muḥammad Ismā`īl Abū ar-Raysy, al-Kaffārāt
fī al-Fiqh al-Islāmī (Mesir: Dār al-Amānah, 1408 H/1989 M), hlm. 12.
No comments:
Post a Comment